June 11, 2024

Investasi Satelit LEO Mahal, Operator Lokal Mampu atau Tidak?

GalaxySpace, berkolaborasi dengan Mahanakorn University Thailand (MUT) Thailand akan mengujicoba jaringan komunikasi broadband (pita lebar) terintegrasi berbasis satelit orbit rendah atau low earth orbit (LEO) menyerupai Starlink.

JAKARTA, investortrust.id – Kehadiran Starlink membuat operator satelit di Tanah Air ketar-ketir. Menggunakan satelit orbit rendah atau low earth orbit (LEO), Starlink menawarkan kelebihan yang membuatnya dilirik oleh pengguna layanan internet satelit. 

Seperti diketahui, operator satelit di Indonesia sebagian besar menggunakan satelit orbit geostasioner atau geostationary earth orbit (GEO). Satelit tersebut mengorbit di ketinggian 36.000 km di atas permukaan bumi, jauh lebih tinggi dibandingkan satelit LEO di ketinggian 500-1.200 km dari permukaan bumi. 

Satelit LEO unggul dari sisi kecepatan koneksi internet dan latensi atau jeda koneksi yang rendah. Hal ini membuat pemanfaatannya jauh lebih luas dibandingkan dengan satelit GEO. 

Lantas, mengapa operator satelit di Indonesia masih belum mengikuti jejak Starlink yang memberikan layanan internet berbasis satelit LEO secara mandiri? 

Direktur Pengembangan PT Telkom Satelit Indonesia (Telkomsat) Anggoro Kurnianto Widiawan mengatakan, pengoperasian satelit LEO bukanlah hal mudah. Sebab, aturan yang harus dipenuhi untuk meluncurkan satelit tersebut secara global terbilang kompleks. 

Kemudian dari sisi biaya investasi juga sangat memberatkan. Sebab, dibutuhkan banyak satelit hingga ribuan jumlahnya untuk menggelar layanan berbasis satelit LEO. 

“Regulasinya lebih kompleks secara internasional. Kemudian investasinya juga berlanjut harus meluncurkan satelit terus menerus dalam jumlah banyak untuk bisa terkoneksi dengan pengguna. Bukan investasi di awal yang besar sekali,” katanya dalam konferensi pers Asia Pacific Satelite Communication System (APSAT) International Conference ke-20 di Fairmont Hotel, Jakarta Pusat, Selasa (4/6/2024).

Satelit LEO membutuhkan jumlah yang banyak lantaran mengelilingi bumi lebih cepat daripada rotasi Bumi. Dengan demikian, dibutuhkan lebih dari satu satelit untuk dapat melayani satu lokasi di bumi secara berkelanjutan. 

Berbeda dengan satelit GEO yang periode waktu mengitari bumi sama dengan waktu rotasi bumi. Oleh karena itu, hanya dibutuhkan satu satelit untuk melayani satu lokasi di bumi secara terus menerus.  

Bahkan, cukup hanya 3 satelit dengan cakupan global untuk dapat melayani seluruh lokasi di bumi. Oleh karena itu, banyak operator satelit di dunia yang menggunakan satelit GEO untuk menggelar layanannya ke pengguna. 

“Satelit GEO ini seperti menara telekomunikasi tetapi di langit, ya di situ saja dia enggak kemana-kemana. Kalau satelit LEO misalnya cakupan untuk wilayah Jakarta satu satelit itu baru akan bisa melayani Jakarta 14 hari kemudian. Makanya butuh banyak satelit,” paparnya.  

Oleh karena itu, agar biaya investasi yang dikeluarkan bisa sepadan dengan pendapatan, orientasi operator satelit LEO tidak bisa hanya di satu negara. Operator tersebut setidaknya harus melayani pengguna atau punya pelanggan di satu kawasan regional atau malah di seluruh dunia. 

Sebagai perbandingan, biaya yang dikeluarkan untuk meluncurkan satelit Merah Putih 2 atau Telkom 4 mencapai US$ 166 juta. Jauh lebih sedikit dibandingkan dengan Starlink yang diketahui sudah menghabiskan US$ 15 miliar untuk satelit-satelitnya dan masih akan terus berlanjut peluncurannya. 

Dari sisi umur pemakaian, satelit LEO juga berumur lebih pendek dibandingkan dengan satelit GEO. Satelit LEO hanya bisa bertahan di rentang 5-7 tahun, sementara satelit GEO bisa digunakan hingga belasan atau bahkan puluhan tahun. 

Belum Bisa Tandingi Starlink 

Sekretaris Jenderal Asosiasi Satelit Indonesia (Sekjen ASSI) Sigit Jatiputro mengatakan bukan hanya operator satelit Indonesia yang kelimpungan melawan Starlink. Operator satelit di negara-negara maju dengan jumlah satelit yang tidak sedikit pun ikut ketar-ketir. 

Beberapa perusahaan memilih untuk menggabungkan usahanya atau merger guna menjawab persaingan dengan Starlink. Namun, upaya tersebut nyatanya masih belum bisa mengumpulkan modal untuk melawan perusahaan milik Elon Musk itu. 

“Di internasional perusahaan-perusahaan besar yang punya 50 satelit merger jadi satu. Tetapi dengan merger belum bisa menjawab persaingan dengan Starlink, apalagi di Indonesia yang perusahaan satelitnya juga punya satelit sedikit,” katanya ketika ditemui di sela-sela acara APSAT International Conference ke-20 di Fairmont Hotel, Jakarta Pusat, Selasa (4/6/2024). 

Dari sisi biaya investasi, Sigit menyebut investasi satelit LEO bisa mencapai 30 kali lebih besar dibandingkan satelit GEO. Tentu saja, belum ada operator satelit di Indonesia yang punya kemampuan keuangan sebesar itu.  

“Starlink ini juga sangat vertikal bisnisnya. Bukan cuma satelit. Peluncuran juga dia sendiri, roket dia sendiri, manufaktur sendiri. Kalau kita roket untuk meluncurkan satelit enggak ada, harus difasilitas milik pihak ketiga. Itu yang membuat Starlink bisa bertahan,” ujarnya.

source: investortrust.id

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest